Kala
itu, fajar telah menyingsing. Terdengar suara burung bernyanyi merdu. Angin
sejuk bertiup, membuat setiap insan yang dilewatinya menggigil kedinginan.
Suara gaduh terdengar dari dapur setiap rumah, bertanda tangan kasar para ibu
sedang menyiapkan sarapan bagi keluarganya. Tak terkecuali dapur rumah
dipojokan jalan desa itu. Tampak seorang ibu sedang memasak makanan bagi suami
dan anak-anaknya. Bu Yani, demikianlah ia disapa para tetangga.
Setelah
selesai memasak, Bu Yani bergegas ke kamar tidur kedua putrinya. Seperti biasa,
ia membangunkan putri sulungnya. Sengaja ia tidak membangunkan putri bungsunya,
karena belum saatnya dia bangun pagi untuk pergi sekolah.
“Mbak
Rika, ayo bangun! Sudah siang! Sekolah atau enggak?”
dengan sabar, ia berkata.
“Hmm.
Iya bu, sebentar lagi ya!” setengah sadar putri sulungnya menjawab.
“Hei,
ayo bangun. Sekarang sudah jam 6 pagi lho.
Kamu mau telat ke sekolah?”
“Ya
sudah ibu tinggal dulu ya. Kalau nggak
bangun-bangun terus nanti telat masuk sekolah, ibu nggak tanggung lho.” Selepas
berkata demikian, Bu Yani meninggalkan putri sulungnya seorang diri di kamar.
Tepat
pukul setengah 7, Rika sudah berpakaian seragam putih merah dan bersiap untuk
sarapan. Sementara Bu Yani telah berpakaian seragam dinasnya dan bersiap untuk
berangkat ke sekolah, tempatnya mengajar. Perlu diketahui, Bu Yani adalah
seorang guru di SMP Negeri 4 Pare, Kediri.
Seperti
biasa, Rika berangkat ke SD bersama teman-teman dan gurunya yang bertempat
tinggal dekat rumah Rika. Mereka berjalan kaki, sambil bersenda-gurau sepanjang
jalan sembari menikmati segarnya udara desa saat pagi hari, kala mentari masih
malu menampakan wujudnya. Tak berapa lama kemudian, tampak papan bertulis “SD
YBPK Sambirejo, Pare-Kediri”, menandakan bahwa mereka telah sampai di tempat
tujuan. Ya, di SD YBPK Sambirejo itulah Rika dan teman-temannya selama hampir 2
tahun ini belajar.
Saat
masuk halaman sekolah, Rika merasakan sesuatu yang ganjal. Mengapa banyak
bendera merah putih dikibarkan di sekolah? Mengapa ada sound system di halaman, yang biasa digunakan saat upacara? Mengapa
halaman sekolah dibuat lahan untuk perlombaan-perlombaan, yang ia sendiri tidak
tahu itu lomba apa dan dalam rangka apa? Sesaat kemudian, kebingungan Rika
terjawab.
“Kamu
tidak ingat Rika, hari ini kan tanggal 17 Agustus, hari Kemerdekaan Indonesia?”
kata Bu Ratna, guru yang menemaninya sepanjang perjalanan ke sekolah, saat
melihat raut muka bingung yang nampak di wajah Rika. Rika hanya tersenyum malu
menanggapi pertanyaan Bu Ratna.
“Rika..!!”
terdengar teriakan.
Rika pun segera mengetahui siapa yang
berteriak memanggil namanya tadi. Ia adalah Linda, teman sebangkunya sejak kelas 1 SD. Linda
memiliki suara yang cempreng nan khas, sehingga memudahkan Rika untuk mengingat
suaranya. Linda pun menghampiri Rika yang masih berada di gerbang dan
mengajaknya ke kelas untuk meletakkan tas.
Rika
dan Linda pun pergi ke kelasnya untuk meletakkan tas. Sesaat, setelah mereka
masuk kelas, bel tanda upacara dimulai, berbunyi nyaring seantero SD YPBK. Para
siswa, tak terkecuali Rika dan Linda, berhamburan keluar kelas menuju halaman
sekolah. Pak Kus, guru olahraga Rika mengatur barisan siswa-siswi menggunakan
pengeras suara. Tak berapa lama, beberapa barisan sesuai tingkatan telah
tertata rapi. Dan, upacara pun dimulai.
Satu
jam kemudian, halaman sekolah yang semula dipenuhi oleh anak-ank SD yang
berbaris rapi, kini tinggalah halaman yang kosong dan bendera Merah Putih yang
telah dikibarkan di tiang bendera. Para siswa telah masuk ke kelasnya
masing-masing. Terlihat Pak Kus, guru olahraga sekaligus Wali Kelas Rika,
memberi pengarahan di depan kelas Rika tentang perlombaan yang beberapa saat
lagi akan dimulai. Teman-teman Rika tampak serius mendengar penjelasan Pak Kus.
Tak terasa bel tanda istirahat berbunyi, menandakan para wali kelas telah
selesai menjalankan tugasnya untuk memberi pengarahan kepada anak-anak
didiknya, termasuk Pak Kus.
“Oke.
Cukup sekian penjelasan saya, anak-anak. Selamat istirahat. Dan ingat, nanti
setelah istirahat kalian semua berkumpul di halaman sekolah untuk mengikuti
lomba. Oke? Selamat pagi.”
“Selamat
pagi, Pak Kus.” Jawab Rika dan teman-temannya serentak.
Saat
istirahat, Rika lebih memilih untuk berada didalam kelas. Sedangkan
teman-temannya, termasuk Linda sudah menyebar ke halaman sekolah. Sebagian ada
yang bermain sepak bola, sebagian pergi ke kantin, dan beberapa hanya
duduk-duduk iseng di teras kelas.
Didalam
kelas, Rika tidak hanya duduk melamun meratapi nasib. Ia menghapus papan tulis
kapur dengan penghapus papan. Saat ia sedang asik menghapus, temannya yang
bernama Wian datang dan bermaksut menggoda Rika. Wian mengambil penghapus di
tangan Rika dan membawanya lari. Rika berusaha mengambil penghapus yang dibawa
Wian dengan mengejarnya. Wian memang dikenal sebagai anak yang usil dan bandel
di kelas.
“Wi,
kembalikan penghapus itu. Aku belum selesai menghapus papan tulisnya. Ayo
cepet.” Kata Rika kepada Wian.
“Nih,
kalau bisa ambil aja. Weekk.” Sahut
Wian sambil menjulurkan lidahnya, tanda ia mengejek Rika.
Sebenarnya
Rika tidak sebal oleh sikap Wian. Sebaliknya, ia malah senang, bisa bermain
dengan Wian. Kejar-kejaran antara Rika dan Wian terus berlanjut, hingga mereka
capek dan berhenti berlari. Rika berhenti di dekat meja guru, sedangkan Wian
berhenti didepan jendela kaca, dekat pintu, di seberang meja guru. Mereka
berdua ngos-ngosan.
“Ayolah,
Wi. Kembalikan penghapus itu. Hahh hahh.” Kata Rika, masih ngos-ngosan.
“Nih.
Siap-siap tangkap ya, Rik.” Jawab Wian.
Rika
belum menjawab iya dan jelas ia belum siap menerima penghapus itu, saat sesuatu
menimpuk perutnya. Dan ternyata sesuatu itu adalah penghapus yang dilempar
Wian. Penghapus itu mengenai seragam putihnya. Seketika seragam putih itu
berubah menjadi cokelat karena kotor. Rika pun membalas perbuatan Wian. Namun
dengan maksud bercanda. Tanpa berpikir panjang, Rika melempar kembali penghapus
itu ke arah Wian.
Dan... Taarrrrrr..
Prraaanggg.. Priiuuungg..
Terdengar bunyi nyaring yang cukup
mengagetkan orang-orang disekitar kelas Rika. Ternyata itu suara kaca
dibelakang Wian yang pecah karena terkena panghapus yang dilempar Rika. Saat
penghapus dilempar oleh Rika kearah Wian, Wian menghindarinya. Sehingga penghapus
itu mendarat mulus di jendela kaca belakang Wian yang akhirnya pecah.
Detik
itu juga, Rika pun membeku ditempat dengan manampangkan raut muka mlongo. Antara takjub, kaget, takut,
bingung semua menjadi satu dalam pikiran dan jiwanya. Para kakak kelas yang ada
disekitar kelas Rika, bersuara serempak seakan bertanya, namun menambahkan
kegelisahan di hati Rika.
“Hayo
siapa yang berbuat? Hayo hayo siapa yang berbuat? Harus tanggung jawab lho.”
Kata mereka, para kakak kelas Rika.
Rika
mulai merasakakan panas dimatanya. Ia tidak dapat lagi menahan keluarnya air
mata. Ia menagis sejadi-jadinya.
Brraakkkk..
broookk.. Geddebuugg..
Terdengar
suara gebrakan dan suatu benda yang jatuh ke lantai. Tak lain dan tak bukan,
suara itu disebabkan oleh Wian. Wian sedang menangis dan marah karena merasa
bersalah dan ia tak mau di salahkan. Memang Wian kalau sedang marah sangat
menakutkan. Semua benda disekitarnya yang diam tak bersalah menjadi sasaran
empuk tangannya dalam meluapkan emosi. Melihat itu, para kakak kelas segera
kabur keluar kelas Rika, karena takut menjadi sasaran empuk marahnya Wian. Dalam
sekejab kelas menjadi berantakan, seakan diterjang gempa dengan daya getar yang
tinggi. Bangku dan kursi berserakan dimana, akibat ulah tangan Wian.
Mendengar suara gaduh di kelas Rika, Bapak-ibu
guru pun datang ke kelas tersebut. Dan segera bertanya apa pokok
permasalahannya. Bu Ratna dan Pak Kus mengintrogasi
Rika. Rika pun tambah menangis karena takut disalahkan. Sedangkan Pak Narjo,
Kepala Sekolah Rika mencoba untuk menenangkan Wian. Namun gagal total. Karena
Wian malah tambah mengamuk den
berlari keluar kelas sambil menangis dan memukul siapa saja yang berada
didekatnya.
“Tadi
Wian duluan yang melempar penghapus kebadan saya, hingga baju saya menjadi
kotor.” Bela Rika sesenggukan.
“Lalu
kenapa Wian menjadi semarah itu?” tanya Bu Sri.
“Mungkin
karena merasa bersalah, bu.” Jawab Rika masih sesenggukan akibat tangisnya.
Setelah
mengetahui penyebab masalah itu, para guru laki-laki mengejar Wian yang berlari
mengelilingi halaman sekolah yang luas sembari tetap menangis dan memukul
orang. Mereka mencoba menghentikan luapan kemarahan Wian. Namun tak satupun
berhasil dengan usahanya. Bapak ibu gurupun kewalahan menghadapi Wian. Hingga
Pak Kus berinisiatif memanggil Ibu Wian. Konon hanya ibunya yang bisa meredakan
emosi Wian.
Beberapa
saat kemudian, ibu Wian telah datang dan membujuk putranya supaya tidak marah
lagi. Dengan sabar, ia menasehati Wian. Walaupun dipukul oleh Wian, ia tetap
berusaha meredakan kemarahan Wian. Dan akhirnya berhasil.
Dilain
tempat, yaitu ditaman bermain belakang kelasnya, Rika sedang menangis
tersedu-sedu ditemani Linda. Linda berusaha menenangkan Rika.
“Rik, udah dong. Jangan menangis lagi.
Itu semua bukan salahmu.” Kata Linda penuh kasih sayang.
Tak berapa lama, tangis Rika mereda.
Mereka bergegas kembali ke kelas.
Pak Narjo, menyadari bahwa kaca itu
telah lama dan rapuh. Akhirnya, beliau tidak meminta ganti rugi kepada Wian
maupun kepada Rika. Dan masalah terselesaikan sudah. Pak Narjo meminta Rika dan
Wian yang sudah tenang untuk saling berjabat tangan.
Dan Lomba Tujuh Belasan dapat kembali
dilaksanakan, setelah tertunda akibat insiden kecil yang menegangkan tadi.
Beberapa perwakilan kelas menjadi peserta lomba. Lomba-lombanya antara lain;
lomba balap karung, tarik tambang, membawa sendok yang terisi kelereng dengan
mulut, dan masih banyak lagi. Mereka yang tidak ikut lomba, bertugas menjadi suporter bagi kelasnya masing-masing.
Dan akhirnya kesedihan dan suasan yang
menegangkan berubah menjadi kesenangan dan kebersamaan.
~TAMAT~
Comments