Skip to main content

Cerpen : HUT Indonesia yang Tak Terlupakan


             Kala itu, fajar telah menyingsing. Terdengar suara burung bernyanyi merdu. Angin sejuk bertiup, membuat setiap insan yang dilewatinya menggigil kedinginan. Suara gaduh terdengar dari dapur setiap rumah, bertanda tangan kasar para ibu sedang menyiapkan sarapan bagi keluarganya. Tak terkecuali dapur rumah dipojokan jalan desa itu. Tampak seorang ibu sedang memasak makanan bagi suami dan anak-anaknya. Bu Yani, demikianlah ia disapa para tetangga.

            Setelah selesai memasak, Bu Yani bergegas ke kamar tidur kedua putrinya. Seperti biasa, ia membangunkan putri sulungnya. Sengaja ia tidak membangunkan putri bungsunya, karena belum saatnya dia bangun pagi untuk pergi sekolah.

            “Mbak Rika, ayo bangun! Sudah siang! Sekolah atau enggak?” dengan sabar, ia berkata.

            “Hmm. Iya bu, sebentar lagi ya!” setengah sadar putri sulungnya menjawab.

            “Hei, ayo bangun. Sekarang sudah jam 6 pagi lho. Kamu mau telat ke sekolah?”

            “Iya iya bu. 5 menit lagi.”

            “Ya sudah ibu tinggal dulu ya. Kalau nggak bangun-bangun terus nanti telat masuk sekolah, ibu nggak tanggung lho.” Selepas berkata demikian, Bu Yani meninggalkan putri sulungnya seorang diri di kamar.

            Tepat pukul setengah 7, Rika sudah berpakaian seragam putih merah dan bersiap untuk sarapan. Sementara Bu Yani telah berpakaian seragam dinasnya dan bersiap untuk berangkat ke sekolah, tempatnya mengajar. Perlu diketahui, Bu Yani adalah seorang guru di SMP Negeri 4 Pare, Kediri.

            Seperti biasa, Rika berangkat ke SD bersama teman-teman dan gurunya yang bertempat tinggal dekat rumah Rika. Mereka berjalan kaki, sambil bersenda-gurau sepanjang jalan sembari menikmati segarnya udara desa saat pagi hari, kala mentari masih malu menampakan wujudnya. Tak berapa lama kemudian, tampak papan bertulis “SD YBPK Sambirejo, Pare-Kediri”, menandakan bahwa mereka telah sampai di tempat tujuan. Ya, di SD YBPK Sambirejo itulah Rika dan teman-temannya selama hampir 2 tahun ini belajar.

            Saat masuk halaman sekolah, Rika merasakan sesuatu yang ganjal. Mengapa banyak bendera merah putih dikibarkan di sekolah? Mengapa ada sound system di halaman, yang biasa digunakan saat upacara? Mengapa halaman sekolah dibuat lahan untuk perlombaan-perlombaan, yang ia sendiri tidak tahu itu lomba apa dan dalam rangka apa? Sesaat kemudian, kebingungan Rika terjawab.

            “Kamu tidak ingat Rika, hari ini kan tanggal 17 Agustus, hari Kemerdekaan Indonesia?” kata Bu Ratna, guru yang menemaninya sepanjang perjalanan ke sekolah, saat melihat raut muka bingung yang nampak di wajah Rika. Rika hanya tersenyum malu menanggapi pertanyaan Bu Ratna.

            “Rika..!!” terdengar teriakan.

Rika pun segera mengetahui siapa yang berteriak memanggil namanya tadi. Ia adalah Linda,  teman sebangkunya sejak kelas 1 SD. Linda memiliki suara yang cempreng nan khas, sehingga memudahkan Rika untuk mengingat suaranya. Linda pun menghampiri Rika yang masih berada di gerbang dan mengajaknya ke kelas untuk meletakkan tas.  

            Rika dan Linda pun pergi ke kelasnya untuk meletakkan tas. Sesaat, setelah mereka masuk kelas, bel tanda upacara dimulai, berbunyi nyaring seantero SD YPBK. Para siswa, tak terkecuali Rika dan Linda, berhamburan keluar kelas menuju halaman sekolah. Pak Kus, guru olahraga Rika mengatur barisan siswa-siswi menggunakan pengeras suara. Tak berapa lama, beberapa barisan sesuai tingkatan telah tertata rapi. Dan, upacara pun dimulai.

            Satu jam kemudian, halaman sekolah yang semula dipenuhi oleh anak-ank SD yang berbaris rapi, kini tinggalah halaman yang kosong dan bendera Merah Putih yang telah dikibarkan di tiang bendera. Para siswa telah masuk ke kelasnya masing-masing. Terlihat Pak Kus, guru olahraga sekaligus Wali Kelas Rika, memberi pengarahan di depan kelas Rika tentang perlombaan yang beberapa saat lagi akan dimulai. Teman-teman Rika tampak serius mendengar penjelasan Pak Kus. Tak terasa bel tanda istirahat berbunyi, menandakan para wali kelas telah selesai menjalankan tugasnya untuk memberi pengarahan kepada anak-anak didiknya, termasuk Pak Kus.

            “Oke. Cukup sekian penjelasan saya, anak-anak. Selamat istirahat. Dan ingat, nanti setelah istirahat kalian semua berkumpul di halaman sekolah untuk mengikuti lomba. Oke? Selamat pagi.”

            “Selamat pagi, Pak Kus.” Jawab Rika dan teman-temannya serentak.

            Saat istirahat, Rika lebih memilih untuk berada didalam kelas. Sedangkan teman-temannya, termasuk Linda sudah menyebar ke halaman sekolah. Sebagian ada yang bermain sepak bola, sebagian pergi ke kantin, dan beberapa hanya duduk-duduk iseng di teras kelas.

            Didalam kelas, Rika tidak hanya duduk melamun meratapi nasib. Ia menghapus papan tulis kapur dengan penghapus papan. Saat ia sedang asik menghapus, temannya yang bernama Wian datang dan bermaksut menggoda Rika. Wian mengambil penghapus di tangan Rika dan membawanya lari. Rika berusaha mengambil penghapus yang dibawa Wian dengan mengejarnya. Wian memang dikenal sebagai anak yang usil dan bandel di kelas.

            “Wi, kembalikan penghapus itu. Aku belum selesai menghapus papan tulisnya. Ayo cepet.” Kata Rika kepada Wian.

            “Nih, kalau bisa ambil aja. Weekk.” Sahut Wian sambil menjulurkan lidahnya, tanda ia mengejek Rika.

            Sebenarnya Rika tidak sebal oleh sikap Wian. Sebaliknya, ia malah senang, bisa bermain dengan Wian. Kejar-kejaran antara Rika dan Wian terus berlanjut, hingga mereka capek dan berhenti berlari. Rika berhenti di dekat meja guru, sedangkan Wian berhenti didepan jendela kaca, dekat pintu, di seberang meja guru. Mereka berdua ngos-ngosan.

            “Ayolah, Wi. Kembalikan penghapus itu. Hahh hahh.” Kata Rika, masih ngos-ngosan.

            “Nih. Siap-siap tangkap ya, Rik.” Jawab Wian.

            Rika belum menjawab iya dan jelas ia belum siap menerima penghapus itu, saat sesuatu menimpuk perutnya. Dan ternyata sesuatu itu adalah penghapus yang dilempar Wian. Penghapus itu mengenai seragam putihnya. Seketika seragam putih itu berubah menjadi cokelat karena kotor. Rika pun membalas perbuatan Wian. Namun dengan maksud bercanda. Tanpa berpikir panjang, Rika melempar kembali penghapus itu ke arah Wian.

Dan... Taarrrrrr.. Prraaanggg.. Priiuuungg..

Terdengar bunyi nyaring yang cukup mengagetkan orang-orang disekitar kelas Rika. Ternyata itu suara kaca dibelakang Wian yang pecah karena terkena panghapus yang dilempar Rika. Saat penghapus dilempar oleh Rika kearah Wian, Wian menghindarinya. Sehingga penghapus itu mendarat mulus di jendela kaca belakang Wian yang akhirnya pecah.

            Detik itu juga, Rika pun membeku ditempat dengan manampangkan raut muka mlongo. Antara takjub, kaget, takut, bingung semua menjadi satu dalam pikiran dan jiwanya. Para kakak kelas yang ada disekitar kelas Rika, bersuara serempak seakan bertanya, namun menambahkan kegelisahan di hati Rika.

            “Hayo siapa yang berbuat? Hayo hayo siapa yang berbuat? Harus tanggung jawab lho.” Kata mereka, para kakak kelas Rika.

            Rika mulai merasakakan panas dimatanya. Ia tidak dapat lagi menahan keluarnya air mata. Ia menagis sejadi-jadinya.

            Brraakkkk.. broookk.. Geddebuugg..

            Terdengar suara gebrakan dan suatu benda yang jatuh ke lantai. Tak lain dan tak bukan, suara itu disebabkan oleh Wian. Wian sedang menangis dan marah karena merasa bersalah dan ia tak mau di salahkan. Memang Wian kalau sedang marah sangat menakutkan. Semua benda disekitarnya yang diam tak bersalah menjadi sasaran empuk tangannya dalam meluapkan emosi. Melihat itu, para kakak kelas segera kabur keluar kelas Rika, karena takut menjadi sasaran empuk marahnya Wian. Dalam sekejab kelas menjadi berantakan, seakan diterjang gempa dengan daya getar yang tinggi. Bangku dan kursi berserakan dimana, akibat ulah tangan Wian.

            Mendengar suara gaduh di kelas Rika, Bapak-ibu guru pun datang ke kelas tersebut. Dan segera bertanya apa pokok permasalahannya. Bu Ratna dan Pak Kus  mengintrogasi Rika. Rika pun tambah menangis karena takut disalahkan. Sedangkan Pak Narjo, Kepala Sekolah Rika mencoba untuk menenangkan Wian. Namun gagal total. Karena Wian malah tambah mengamuk den berlari keluar kelas sambil menangis dan memukul siapa saja yang berada didekatnya.

            “Tadi Wian duluan yang melempar penghapus kebadan saya, hingga baju saya menjadi kotor.” Bela Rika sesenggukan.

            “Lalu kenapa Wian menjadi semarah itu?” tanya Bu Sri.

            “Mungkin karena merasa bersalah, bu.” Jawab Rika masih sesenggukan akibat tangisnya.

            Setelah mengetahui penyebab masalah itu, para guru laki-laki mengejar Wian yang berlari mengelilingi halaman sekolah yang luas sembari tetap menangis dan memukul orang. Mereka mencoba menghentikan luapan kemarahan Wian. Namun tak satupun berhasil dengan usahanya. Bapak ibu gurupun kewalahan menghadapi Wian. Hingga Pak Kus berinisiatif memanggil Ibu Wian. Konon hanya ibunya yang bisa meredakan emosi Wian.

            Beberapa saat kemudian, ibu Wian telah datang dan membujuk putranya supaya tidak marah lagi. Dengan sabar, ia menasehati Wian. Walaupun dipukul oleh Wian, ia tetap berusaha meredakan kemarahan Wian. Dan akhirnya berhasil.

            Dilain tempat, yaitu ditaman bermain belakang kelasnya, Rika sedang menangis tersedu-sedu ditemani Linda. Linda berusaha menenangkan Rika.

“Rik, udah dong. Jangan menangis lagi. Itu semua bukan salahmu.” Kata Linda penuh kasih sayang.

Tak berapa lama, tangis Rika mereda. Mereka bergegas kembali ke kelas.

Pak Narjo, menyadari bahwa kaca itu telah lama dan rapuh. Akhirnya, beliau tidak meminta ganti rugi kepada Wian maupun kepada Rika. Dan masalah terselesaikan sudah. Pak Narjo meminta Rika dan Wian yang sudah tenang untuk saling berjabat tangan.

Dan Lomba Tujuh Belasan dapat kembali dilaksanakan, setelah tertunda akibat insiden kecil yang menegangkan tadi. Beberapa perwakilan kelas menjadi peserta lomba. Lomba-lombanya antara lain; lomba balap karung, tarik tambang, membawa sendok yang terisi kelereng dengan mulut, dan masih banyak lagi. Mereka yang tidak ikut lomba, bertugas menjadi suporter bagi kelasnya masing-masing.

Dan akhirnya kesedihan dan suasan yang menegangkan berubah menjadi kesenangan dan kebersamaan.



~TAMAT~

Comments